JAKARTA (RP) - Mahkamah Agung (MA) akhirnya membuat terobosan hukum
untuk menetapkan hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah (zina) dan
pernikahan bawah tangan (sirri dan muto’ah).
MA menetapkan anak hasil zina tidak berhak memperoleh waris, namun
berhak mendapatkan nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak
biologisnya (wasiat wajibah).
Ketentuan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA.
SEMA yang mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama itu
menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian
Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam amar putusannya, MK mengubah pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974
tentang Perkawinan menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan, mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan,
berdasarkan Mazhab Hanafi, anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah dari
ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya.
Ketika ayah biologisnya meninggal, anak hasil zina juga berhak
mendapatkan pembagian wasiat wajibah yang besarnya ditentukan oleh pengadilan
agama.
Sesuai ketentuan hukum waris, wasiat wajibah besarnya tidak boleh
melebihi sepertiga dari total harta yang ditinggalkan setelah dikurangi
kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung mayat, seperti pelunasan hutang dan
wakaf yang dijanjikan.
‘’Istilahnya bukan waris, tetapi menafkahi segala biaya hidup si
anak sesuai kemampuan ayah biologisnya dan kepatutan. Misalnya mempertimbangkan
lamanya masa perkawinan dan besaran penghasilan bersih atau take home pay,’’
katanya.
Menurut Mansyur, kewajiban ayah biologis untuk tetap memberi nafkah
bagi anak yang dilahirkan hasil hubungan di luar perkawinan tersebut,
semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan, melindungi kepentingan dan HAM anak.
Pendapat MA ini diyakini bersifat progresif karena mengubah
pandangan masyarakat bahwa anak diluar nikah, hanya memiliki hubungan hukum
dengan garis keturunan ibunya.
‘’SEMA ini menjadi pedoman hakim-hakim agama, sehingga tidak
terjadi perbedaan penerapan hukum,’’ tutur mantan Ketua Pengadilan Negeri Batam
ini.
Ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi anak hasil zina,
melainkan juga anak hasil perkawinan bawah tangan, baik kawin sirri (perkawinan
yang sah sesuai hukum agama namun tidak didaftarkan negara) maupun kawin
muto’ah (kawin kontrak).
Seperti halnya anak hasil perzinaan, anak hasil perkawinan sirri
dan kawin muto’ah juga wajib mendapat penetapan dari Pengadilan Agama untuk
mendapatkan haknya.
Meski berhak mendapatkan nafkah dan wasiat wajibah, anak hasil zina
dan perkawinan bawah tangan tetap tidak berhak mendapatkan hak wali nikah dan
garis keturunan atau nasab.
Dalam hal ini, MA tampaknya memperhatikan fatwa Majelis Ulama
Indonesia No 11 tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakukan
Terhadapnya.
Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan anak hasil zina tidak
mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan waris dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya.
Bedanya, dalam fatwa tersebut MUI masih mengeluarkan laki-laki
penyebab kehamilan dari kewajiban memberi nafkah untuk anak biologisnya.
Meski demikian, MUI tetap mengapresiasi SEMA tersebut. Pasalnya, MA
dinilai tetap melindungi kemurnian garis keturunan yang sah (hifzd al-nasl)
yang menjadi salah satu tujuan perkawinan.
‘’Ini keputusan yang bagus karena tetap melindungi hifzd al-nasl
dan tidak mengubah garis keturunan,’’ ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun
Ni’am ketika dihubungi, Senin (4/2).
Dalam fatwanya, MUI menegaskan anak hasil zina, tidak menanggung
dosa perzinaan yang dilakukan orang tua yang menyebabkan kelahirannya.
Meski demikian, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab,
waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
MUI juga mendorong pemerintah menjatuhkan hukuman yang sesuai
dengan ketentuan Alquran (hadd) pada laki-laki yang berzina.
Sesuai ketentuan Alquran, hukuman hadd yang dijatuhkan bagi
laki-laki dan perempuan pezina adalah hukuman cambuk seratus kali di depan
umum.
Tujuannya untuk mempertegas perlindungan agama terhadap garis
keturunan yang sah. Namun, pemerintah tidak menerapkan hukuman hadd tersebut
dan menggantinya dengan hukuman badan sesuai ketentuan Pasal 284
KUHP.(dim/wan/jpnn/ade)
Sumber:
http://riaupos.co/berita.php?act=full&id=23733
No comments:
Post a Comment